Etika Profesi Tentang Privacy di Dunia Kedokteran

Pada era informasi ini dikenal ada 4 (empat) hal yang merupakan isu utama yaitu Privacy, Accuracy, Property, Accessibility (PAPA).
Disini saya akan mengambil contoh salah satu tentang Privacy :

  * . Privacy 
 
Privasi yang dimaksud di sini adalah Privasi dalam hal hak individu atau hak seseorang dalam mempertahankan informasi yang bersifat pribadi dari pengaksesan oleh orang lain yang tidak berhak atau yang dirahasiakan. 
 
Salah contoh kasus privacy di bawah ini :
 
Bolehkah Dokter Membuka Rahasia Pasien Bila Menemukan Dugaan Pelecehan Seksual?
Apabila seorang dokter setelah melakukan pemeriksaan medis pada seseorang anak usia 7 tahun dan menemukan indikasi telah terjadi pelecehan seksual terhadap anak tersebut, secara hukum apa yang harus dilakukan dokter tersebut? Bila dia melaporkan hal ini kepada KPAI atau LPA maka bagaimana hubungannya dengan rahasia kedokteran sang pasien? Apakah sang dokter bisa dituntut berdasarkan Pasal 322 KUHP, apakah juga dia dapat dikategorikan melanggar kode etik kedokteran? 
 
Jawaban :
Kami asumsikan dokter yang Anda maksud disini bukanlah dokter yang membuat visum et repertum (“visum”). Pada dasarnya setiap profesi mempunyai tangung jawab etika yang selalu dijunjung dalam melayani masyarakat tak terkecuali dokter. Untuk menjaga rahasia antara pasien dan dokter maka terdapat pengaturan mengenai rahasia kedokteran. Dalam Pasal 16 Kode Etik Kedokteran Indonesia, disebutkan bahwa:
 
“Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.” 
 
 
Menurut Penjelasan Pasal 12 Kode Etik Kedokteran, cakupan pasal ini adalah:
(1) Seorang dokter wajib merahasiakan apa yang dia ketahui tentang pasien yang ia peroleh dari diri pasien tersebut dari suatu hubungan dokter-pasien sesuai ketentuan perundang-undangan.
(2) Seorang dokter tidak boleh memberikan pernyataaan tentang diagnosis dan/atau pengobatan yang terkait diagnosis pasien kepada pihak ketiga atau kepada masyarakat luas tanpa persetujuan pasien.
(3) Seorang dokter tidak boleh menggunakan rahasia pasiennya untuk merugikan pasien, keluarga atau kerabat dekatnya dengan membukanya kepada pihak ketiga atau yang tidak berkaitan.
(4)Dalam hal terdapat dilema moral atau etis akan dibuka atau dipertahankannya rahasia pasien, setiap dokter wajib berkonsultasi dengan mitra bestari dan/atau organisasi profesinya terhadap pilihan keputusan etis yang akan diambilnya.
Penjelasan dari cakupan pasal ini: Misalnya dalam penafsiran "kepentingan umum" yang harus juga dilindungi. Dokter atau Organisasi profesi yang diminta nasehat wajib melakukan hal terbaik untuk mencari pemecahan atas permasalahan yang dihadapi.
(5) Setiap dokter wajib  hati-hati dan mempertimbangkan implikasi sosial-ekonomi-budaya dan legal terkait dengan pembukaan rahasia pasiennya yang diduga/mengalami gangguan jiwa, penyakit infeksi menular seksual dan penyakit lain yang menimbulkan stigmatisasi masyarakat
(6) Setiap dokter pemeriksa kesehatan untuk kepentingan hukum dan kemasyarakatan wajib menyampaikan hasil pemeriksaaan kepada pihak berwewenang yang memintanya secara tertulis sesuai ketentuan perundang-undangan.
(7) Seorang dokter dapat membuka rahasia medis seorang pasien untuk kepentingan pengobatan pasien tersebut, perintah undang-undang, permintaan pengadilan, untuk melindungi keselamatan dan kehidupan masyarakat setelah berkonsultasi dengan organisasi profesi, sepengetahuan/ijin pasien dan dalam dugaan perkara hukum pihak pasien telah secara sukarela menjelaskan sendiri diagnosis/pengobatan penyakitnya di media massa/elektronik/internet.
(8) Seorang dokter wajib menyadari bahwa membuka rahasia jabatan dokter dapat membawa konsekuensi etik, disiplin dan hukum.

Selain itu, terdapat beberapa alasan bagi dokter untuk membuka rahasia kedokteran, hal tersebut diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”) dan Pasal 10 Peraturan Menteri Kesehatan No.269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis (“Permenkes 269/2008”), yang masing-masing berbunyi demikian:

Pasal 48 UU Praktik Kedokteran:
1.    Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.
2.    Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
3.    Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 10 ayat (2) Permenkes 269/2008: 
Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal: 
a.    untuk kepentingan kesehatan pasien;
b.    memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan;
c.    permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri;
d.    permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan
e.    untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien. 

Dari dua pasal di atas, terlihat bahwa selain hal-hal di atas dokter tidak dapat membuka rahasia kedokteran
Namun dalam permasalahan ini, guna kepentingan terbaik bagi anak maka dokter dapat memberitahukan orang tua atau wali anak tersebut untuk kemudian orang tua atau wali tersebut melaporkan pada Pihak Kepolisian.
Bagi seseorang yang belum dewasa, dokter dapat memberitahukan hasil pemeriksaan pada walinya atau orangtuanya karena bukan hanya karena seorang anak belum cakap, namun juga terdapat konsekuensi psikologis bagi anak tersebut. Wali atau orangtua tersebut setelah mengetahui adanya tanda-tanda kekerasan seksual pada anak mereka dapat melaporkan pada Pihak Kepolisian. Definisi wali sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, adalah:

“Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak”

Bila anak tersebut diasuh oleh orang tuanya maka beritahukanlah tanda-tanda kekerasan seksual tersebut pada orang tuanya. Dalam perkara tersebut, berdasarkan keterangan dokter, orang tua dapat melaporkan kekerasan seksual yang terjadi pada anaknya kepada Pihak Kepolisian untuk diadakan penyidikan dan visum.

Jadi Kesimpulan nya :

Dalam perkara ini, terdapat peran dokter yang memeriksa pertama kali tersebut. Dokter yang pertama kali mengetahui tanda-tanda kekerasan seksual pada anak tersebut dapat didatangkan untuk dijadikan saksi. Ketika dokter dihadapkan sebagai saksi, dokter dapat mengutarakan apa yang diketahuinya terkait pasien (anak) tersebut. Namun dokter tersebut juga mempunyai hak undur diri sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang berbunyi:
 
 
“Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka”.



Sumber dan Daftar Pustaka :

1. 
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5375c51212169/bolehkah-dokter-membuka-rahasia-pasien-bila-menemukan-dugaan-pelecehan-seksual 

2.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/2647/node/629/uu-no-8-tahun-1981-hukum-acara-pidana

3.
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/17453/nprt/539/uu-no-23-tahun-2002-perlindungan-anak

4.
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/19808/nprt/537/uu-no-29-tahun-2004-praktik-kedokteran

5.
Peraturan Menteri Kesehatan No.269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis.  

Comments

Popular Posts